Candi Kidal dibangun pada 1248 M, setelah upacara pemakaman 'Cradha' untuk Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tujuan pembangunan candi ini adalah untuk mendarmakan Raja Anusapati, agar sang raja dapat mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Dibangun pada masa transisi dari zaman keemasan pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah ke kerajaan-kerajaan Jawa Timur, pada Candi Kidal dapat ditemui perpaduan corak candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Sebagian pakar bahkan menyebut Candi Kidal sebagai prototipe candi Jawa Timuran.


Atap Candi Kidal berebentuk kotak bersusun tiga, makin ke atas makin mengecil. Puncaknya tidak runcing, melainkan persegi dengan permukaan yang cukup luas. Puncak atap tidak dihiasi dengan ratna atau stupa, melainkan hanya
Tubuh candi dapat dikatakan ramping, sehingga selasar di kaki candi cukup lebar. Dalam tubuh candi terdapat ruangan yang tidak terlalu luas. Saat ini ruangan tersebut dalam keadaan kosong. Dinding candi juga dihiasi dengan pahatan bermotif medalion. Pada dinding di sisi samping dan belakang terdapat relung tempat meletakkan arca. Relung-relung tersebut juga dilengkapi dengan bentuk 'atap' dan hiasan kalamakara di atas ambangnya. Tidak satupun arca yang masih bisa didapati di Candi Kidal. Konon arca Syiwa yang indah, yang saat ini tersimpan di museum Leiden, dahulu berasal dari Candi Kidal.
Dalam kesusastraan Jawa kuno, terdapat mitos yang terkenal di kalangan masrakyat, yaitu mitos Garudheya, seekor garuda yang berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan dengan tebusan air suci amerta (air kehidupan). Konon relief mitos Garudheya dibuat untuk memenuhi amanat Anusapati yang ingin meruwat Ken Dedes, ibunda yang sangat dicintainya. Mitos Garudheya tertuang secara lengkap dalam relief di seputar kaki candi. Untuk membacanya digunakan teknik prasawiya (berlawanan dengan arah jarum jam), dimulai dari sisi selatan.
Relief pertama menggambarkan seekor garuda menggendong 3 ekor ular besar, relief kedua melukiskan seekor garuda dengan kendi diatas kepalanya, dan relief ketiga garuda menggendong seorang wanita. Diantara ketiga relief tersebut, relief kedua adalah yang paling indah dan utuh.
Mitos Garudheya
Pada suatu hari, Dewi Winata kedatangan seorang dewa yang menghadiahkan sebuah telur kepadanya. Dewa itu berpesan agar Dewi Winata menjaga telur itu baik-baik hingga saatnya menetas nanti dan merawat makhluk yang keluar dari dalam telur tersebut. Sang Dewi lalu menyimpan telur di tempat tersembunyi. Pada saat yang bersamaan ternyata Dewi Kadru juga mengalami hal yang sama. Setelah tiba waktunya, telur yang diberikan kepada
Walaupun masing-masing telah mempunyai anak angkat, persaingan di antara kedua wanita tersebut tidak mereda. Pada suatu hari, Dewi Kadru menipu kakaknya dalam sebuah taruhan, sehingga ia memenangkan taruhan tersebut. Dewi Winata yang kalah harus menjadi budak Dewi Kadru dan anak-anaknya. Garudheya sangat sedih melihat penderitaan ibunya. Setelah dewasa, Garudheya berusaha mencari cara untuk membebaskan ibunya dari perbudakan. Akhirnya Garudheya berhasil mendapatkan keterangan bahwa ibunya akan bebas dari ikatan perjanjian dengan tebusan tirta amerta (air kehidupan) yang tersimpan di kahyangan dan dijaga oleh Dewa Wisnu. Setelah melalui berbagai perjuangan, Garudheya berhasil mendapatkan izin dari Dewa Wisnu untuk mengambil tirta amerta yang diperlukan untuk meruwat (membebaskan dari penderitaan) ibunya dengan syarat ia harus menjadi tunggangan Dewa Wisnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar